Soeharto dan Pinochet
Oleh: Santoso
Awal Mei tahun lalu saya berkabar ke teman lama, "Aku mau ke Cile. Siapa tahu mau titip gambar makam Allende." Saya memberitahu karena teman itu pernah secara guyon menyatakan ingin ke Cile. Ia bukan peminat backpacking. Keinginan itu semata-mata imbas dari skripsi yang pernah ia tulis. Ia mengambil kasus Chile, salah satu rujukannya terjemahan disertasi (kini Prof.) Arief Budiman. Teman itu membalas begini, "Good luck. Terima kasih dan tak perlu kawan. Tengok saja makam Pinochet, siapa tahu bisa untuk model makam Soeharto." Rupanya ia belum tahu makam Pinochet itu tak ada.
Seusai dilepas dengan upacara militer (Des. 2006), jasad Pinochet dibawa ke krematorium. Perabuan dipilih karena lebih cocok dengan situasi politik Cile. Jika dimakamkan, Pinochet-ois khawatir makam itu akan jadi sasaran vandalisme para seteru mereka. Bisa saja ini dianggap hukum karma. Mengapa? Jenderal yang semasa berkuasa gemar menebar teror itu giliran terteror ketika ia tak punya kuasa apa-apa atas tubuhnya lagi.
Ini berbeda jauh dengan jasad Allende yang berbaring tenang di Cementario General (pemakaman umum), kira-kira 2 km di utara istana La Moneda, Santiago. September 1973, pemerintah sah Allende dijatuhkan oleh kudeta militer yang disponsori Amerika dan CIA. Pinochet, waktu itu panglima militer, memberlakukan tahanan rumah bagi Allende. Ketimbang menjadi tahanan, presiden terguling memilih bunuh diri. Itu yang versi resmi, versi lain menyebut Allende dihabisi tentara Pinochet.
Di peta politik, Pinochet kerap disejajarkan dengan Soeharto. Kudeta militer atas pemerintahan kiri di Cile mirip kudeta merayap di Jakarta. Allende yang sosialis mirip Soekarno, sementara posisi Pinochet sama dengan posisi Soeharto. Nama sandi untuk perebutan kekuasaan itu operasi Jakarta!
Setelah jadi orang nomor satu, langkah-langkah mereka berdua juga seirama. Pinochet membersihkan Cile dari kaum kiri lewat penculikan dan penghilangan paksa. Fokus pemerintahnya pembenahan ekonomi. Yang paling diuntungkan kebijakannya adalah kelas menengah. Di tiap kesempatan, Pinochet selalu mengulang misinya membebaskan Cile dari komunisme. Bukankah yang terakhir ini juga senjata ampuh Soeharto untuk melumpuhkan yang berbeda pendapat dengannya?
Pinochet tumbang 1990 lewat referendum. Komisi independen yang dibentuk telah mengedus seluruh kejahatannya dan menyusun daftar dosanya. Upaya kejaksaan menyeret Pinochet ke pengadilan gagal. Sebagai anggota parlemen, sang mantan diktator punya kekebalan hukum. Kesempatan bagi kejaksaan muncul setelah Pinochet pensiun. Tapi lagi-lagi Pinochet lolos. Mengapa? Ia tak layak diadili, begitu kata dokter, karena kondisi kesehatannya!
Ketika mangkat, angin politik Cile telah berganti arah. Michelle Bachelet, Presiden Cile sekarang, ayahnya adalah salah satu korban rezim Pinochet. Ia tak keberatan jika militer hendak memberikan penghormatan. Di luar itu tak ada hari berkabung nasional. Juga tidak ada pengibaran bendera setengah tiang. Alasannya, Pinochet jadi presiden bukan lewat Pemilu! Bandingkan dengan penetapan 7 hari berkabung nasional sebagai ungkapan dukacita atas meninggalnya Soeharto yang terkesan 'mikul kedhuwuren dan mendhem kejeron'.
Di hari penguburannya, jasad Haji Muhammad Soeharto lebih beruntung ketimbang jasad Augusto Jose Roman Pinochet Ugarte. Setidaknya dalam hal-hal yang terlihat mata telanjang. Ia bisa ditanam di makam keluarga yang telah lama disiapkannya. Dulu makam itu hanya bisa dibicarakan sembunyi-sembunyi. Kabarnya, Soeharto ingin membangun di tempat yang lebih tinggi tapi selalu gagal karena fondasinya runtuh. Kata orang Jawa, kuwalat karena mau lebih tinggi dari makam Pangeran Samber Nyawa. Maka jadilah makam di ketinggian 666,6 m. Penggemar film horor tahu persis simbol apa tiga angka enam berjajar itu!
Des Alwi menyebut upacara pemakaman Soeharto yang terbesar di tanah air. Saya tidak sependapat dengan opini itu. Ungkapan dukacita rakyat (Yogya) melepas HB IX Oktober 1988 (?) jauh lebih megah, menyentuh dan sepi dari kontroversi peran kesejarahannya.
Di luar banyaknya kemiripan, warisan Soeharto dan Pinochet amat berbeda. Stabilitas dan keamanan di zaman Orde Baru yang kerap menyebarkan virus SARS ternyata semu. Setelah lengseng keprabon madeg (p/b)andito, ibu pertiwi telah menjadi Indonesia yang morat-marit dan penuh luka. Sedangkan Cile saat ini adalah negara paling makmur dan paling aman di Amerika Latin. Pendapatan per kapita Cile setahun sekitar US$12.700 (tahun 2006). Bandingkan dengan Indonesia yang baru sekitar US$1.663 (tahun 2006). Kemakmuran Cile memang bukan semata-mata buah dari pemerintahan Pinochet tapi sentuhan tangan besinya memberi sumbangan berarti.
Cile sudah setara dengan negara-negara Eropa. Tahun lalu saya berkesempatan menyusur hampir separuh panjang negara dari perbatasan Bolivia hingga ibukota Santiago. Semua serba rapi, nyaman, aman, teratur, dan tentu saja mahal! Pokoknya beda jauh dari negara-negara Latin lain.
Saat singgah di La Serena saya sempatkan membalas email teman lama tadi. Saya tulis, "Aku lagi di kota tercantik Cile, kota yang mendapat identitas tambahan dari Gabriela Mistral, peraih nobel sastra. Besok ke Santiago. Targetku hanya ke Museo Solidaridad de Salvador Allende."
Akhir Juni 2007 itu Santiago sedang dibungkus musim gugur. Sejak terang tanah hingga datang gelap, warna langit tak berubah. Angin berhembus kencang, di mana-mana orang bermantel tebal berjalan bergegas. Ke luar dari terminal metro (subway) Estacion Central saya ikuti jalan Matecana. Dapat sekitar 1,5 km di sebelah kiri ada kompleks taman umum. Saya ambil simpang ke arah kanan hingga sampai di jalan Herera no. 360. Di mana tempat penjualan tiket? Mengapa terlihat sepi? Di secarik kertas ada pemberitahuan museum Salvador Allende telah pindah ke jalan America!
Tengah hari sudah lewat, padahal besok saya mesti siap di bandara pagi-pagi. Agak muskil bisa menemukan museum itu dalam 2 jam. Saya balik kanan, mampir dan rehat sejenak di taman umum. Di tengah cuaca yang tidak bersahabat untuk tubuh tropis saya serasa mendapat hiburan. Di beberapa tempat terbaca corat-coret 'viva Allende'.
Salam dari Sangatta
30-Januari-2008